Tuesday, 31 December 2019

6 Kaidah Fiqih Muamalah


Dalam kamus Al-Munjid dan Al-Munawwir disebutkan beberapa lafadz yang memiliki makna pemahaman, yaitu lafadz fiqh, ia berasal dari lafadz faqiha – yafqahu, fiqhan, yang artinya memahami, mengerti, interpretasi, dan menafsirkan. Dalam Q.S At-Taubah ayat 122, Allah Swt menggunakan lafadz Liyatafaqqahu, yang memiliki tujuan atau arti agar manusia memahamkan, memberi pemahaman.

Dari kalimat tersebut memiliki makna dan mengandung arti mengajarkan, supaya orang lain memiliki ilmu pengetahuan. Pengertian ini juga dikutip dari sabda Nabi saw: “man yuridillahu bihi khairan yufaqqihu fiddin”. Yang bermaksud bahwa orang yang dikehendaki dan direncanakan Allah Swt baik, sukses dan berhasil, adalah orang yang senantiasa mempelajari ilmu.

Dengan kata lain, pendalaman ilmu (tafaqquh fiddin), sampai paham betul dan kemudian ilmu itu diamalkan dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt, itulah orang diinginkan Allah Swt menjadi orang yang baik. Sedangkan ilmu fiqh yaitu ilmu yang mempelajari tentang hukum-hukum syara’ (Islam), baik yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, maupun tentang harmonisasi antara manusia dengan Tuhanya (Allah Swt).

Sementara  itu fiqh muamalah adalah syariat (ajaran) Islam yang mengatur tata cara menjalin hubungan dan kolaborasi antara manusia dengan manusia lainnya guna memenuhi kebutuhan lahiriyah yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip Al-Islam.

Hukum asal mumalah ini adalah boleh (ibahah), hal ini mengandung pengertian bahwa suatu transaksi atau akad, bukanlah kewajiban ataupun yang diharamkan, namun merupakan sesuatu yang dibolehkan untuk dijalankan selagi tidak ada dalil yang mewajibkan atau mengaharamkan akad tersebut.

Akad adalah perjanjian tertulis yang mengandung ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan) antara para pihak yang berisi hak dan kewajiban dan dipenuhi berdasarkan prinsip syariah. Akad yang dinyatakan shahih adalah akad yang telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Adapun akad yang sempurna untuk dilaksanakan, yaitu akad yang memenuhi rukun dan syarat serta tidak ada penghalang untuk menjalankannya.

Berdasarkan tujuannya, akad terbagi dua, akad tabarru dan akad tijarah. Akad tabarru adalah semua bentuk akad yang bertujuan untuk kebajikan dan tolong menolong, bukan untuk komersil/bisnis, seperti infaq, shadaqah, wakaf, hibah, hadiah, dan lain sebagainya. Sedangkan akad tijari yaitu akad perdagangan, bertujuan untuk menukar barang dagangan dengan mata uang, harta dengan harta, melalui cara-cara yang ditentukan syara.

Dengan kata lain, akad tijarah adalah seluruh bentuk akad yang bertujuan untuk komersial dan memperoleh keuntungan. Termasuk ke dalam akad tijarah adalah
pertama, akad yang mengacu pada konsep bagi hasil seperti mudharabah, musyarakah.
Kedua, akad yang mengacu kepada konsep jual beli, seperti bai’ salam, istisna’, bi’tsaman ‘ajil, murabahah.
Ketiga, akad yang mengacu pada konsep sewa, seperti ijarah, ijarah muntahiyah bi tamlik, 
Keempat, akad yang mengcu pada konsep titipan, seperti wadi’ah, baik yad dhamanah maupun yad al-amanah.

Setiap akad yang dilakukan tentu harus senantiasa selaras dengan al-Qur’an, sebab muara dari seluruh aktivitas ekonomi adalah ridha Allah Swt. Ibn Taimiyah memberikan patokan dasar dalam melangsungkan sebuah akad atau bermuamalah, agara muamalahnya tidak keluar dari prinsip syariah, yaitu sebagai berikut:

1. Fiqh muamalah merupakan mubah


Prinsip ini mengandung pengertian bahwa seluruh jenis transaksi dan akad hukumnya boleh dan dapat dilakukan. Paradigma mengenai ibahah ini merupakan watak fiqh muamalah yang bersifat substantif dan esensial (al-aslhu fi al-muamalah al-ibahah hatta yadulla dalilun ‘la tahrimiha).

2. Parameter fiqh muamalah adalah esensi bukan tekstual


Pemahaman yang diperoleh dari sumber hukum Islam (al-Qur’an dan Hadits) tentang muamalah adalah pemahaman kontekstual. Teks harus dipahami berdasarkan pendekatan esensial dan buka tektual atau leksikal. Makna instrinsik dari nash itulah yang merupakan saripati syara yang harus diambil dan dijadikan ketetapan hukum. Seolah-oleh pernyataan ini adalah pernyataan hibah, namun jika dipahami secara substantif, maknanya bukan hibah, namun jual beli (bai’ wasyira).

3. Tidak boleh dengan cara bathil (QS al-baqarah ayat 29, 30).


Indikasi kebathilan yang juga disebut dalam nash adalah dzulumat, maisyir, ribawi, gharar, dan haram. Dzulumat adalah kedzaliman atau penganiayaan. Menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, memfungsikan sesuatu tidak sesuai dengan seharusnya, memberikan atau mengambil sesuatu yang bukan haknya, melakukan rekayasa sehingga memadharatkan pihak lain semua itu termasuk tidakan dzalim yang dilarang din al-Islam.

Maisyir adalah aksi perjudian yang berbasis spekulasi dengan kepastian yang gambling, tidak jelas, tidak terukur. Ribawi adalah praktek transaksi atau akad yang mensyaratkan atau mengharuskan adanya tambahan pada saat transaksi. Hal ini memungkinkan menimbulkan tekanan dan kerugian salah satu pihak.

Gharar adalah keadaan transaksi yang tidak pasti, tidak jelas serta  mengandung unsur spekulasi yang tinggi. Kemudian haram, yaitu segala hal yang secara jelas dan pasti, nash (mashadir al-ahkam) mengharamkan atau melarang mengambil, melakukan, mengerjakan, memberikan, dan memakannya.


4. Jangan mendzalimi orang lain dan diri sendiri (la dharara wala dhirara).


Tindakan yang menimbulkan kerugian, kemadharatan (fahsya, munkar, baghy) dan bahaya baik bagi orang lain maupun diri sendiri adalah tindakan yang salah dan keliru (lihat QS An-Nahl ayat 90). Oleh karena itu Islam melarangnya. Lembaga Keuangan Syariah  misalnya, dalam menetapkan laba/keuntungan haruslah memperhatikan nasabah, dan sekaligus lembaganya sendiri.

Terlalu tinggi laba yang diperoleh lembaga tentu saja akan merugikan nasabah, demikian juga juga jika terlalu rendah atau sama sekali tidak ada labanya, lembaga yang rugi, meskipun LKS itu lembaga yang tidak berorientasi kepada laba dan keuntungan semata, namun sudah barang tentu yang namanya lembaga keuangan yang bergerak di bidang ekonomi, harus mendapatkan laba, hanya laba didapat dengan cara yang halal.

5. Bersifat Meringankan dan memudahkan, tidak mempersulit dan memberatkan (al-masyaqatu tajlib al-taisir, yassiry waa tu’assyiru bassyiru wala tunaffiru).


Sebagai alternatif untuk memberikan kegembiraan dan kesenangan kepada orang lain dan atau kepada orang yang bekerjasama, upaya memberikan kemudahan, keringanan, dan menggembirakan adalah perbuatan yang senapas dengan prinsip dan nilai Islam. Karena itu prinsip ini perlu diperhatikan dan dikembangkan dalam bermuamalah, agar kemudahan dan keringanan menjadi jembatan keberhasilan bersama.

6. Tolong menolong / meringankan beban orang lain (Ta’awuniyah)


Lembaga keuangan syariah yang bergerak di sektor keuangan dan ekonomi, tentu harus memperoleh laba/untung (profit) dan pendapatan (revenue), tetapi itu bukan satu satunya tujuan, bukan pula dasar kinerja ekonomi syariah, namun aktivitas ekonomi itu semata-mata berada dalam koridor ta’awuniyah (tolong menolong). Target dasarnya adalah bagaimana kepedulian sosial dapat terbangun dengan baik untuk sejahtera bersama.

Wallahu a’lam bish-shawabi.   

Sahabat noerislam itulah ulasan mengenai 6 Kaidah Fiqih Muamalah. Terima kasih telah berkunjung ke website cahaya islam, semoga apa yang sahabat baca dapat membawa manfaat dan kemaslahatan untuk kita semua, Aamiin ya rabbal aalamiin.



Wednesday, 25 December 2019

Ibadah saat Haid yang dapat Dikerjakan Kaum Hawa


Sudah menjadi ketetapan Allah bahwa semua kaum Hawa akan ditimpa haid setiap bulan. Namun tetap saja datang bulan sering kali membuat sedih bagi beberapa kaum perempuan muslim karena berakibat pada terbatasnya ibadah yang biasa rutin dilakukan. Shalat, puasa, dan membaca Al Qur’an merupakan di antara beberapa ibadah yang biasanya dirindukan saat haid.

Walaupun harus meninggalkan beberapa ibadah yang rutin dilakukan, ada bebrapa ibadah lain yang dapat dilakukan saat datang bulan (haid). Ibadah-ibadah tersebut dapat dilakukan kapan saja dan dapat menjaga keimanan seorang muslim.

1. Dzikir kepada ALLAH SWT


Beberapa pendapat dari para ulama memperbolehkan wanita haid membaca dzikir, baik bacaan tasbih, tahmid, takbir, tahlil dan lain sebagainya. Belum ada pula satu pun hadits yang melarang wanita berdzikir dalam keadaan haid.

Ibadah ini tentu sangat penting agar selalu mengingat kepada sang pencipta Allah SWT, meski tidak melaksanakan ibadah wajib shalat. Selain itu, dzikir juga menjadi penjaga diri dari segala gangguan, terutama gangguan jin. Saat haid, jangan lupa perbanyak dzikir yang dapat memperberat timbangan amal.

2. Berdoa


Meski tak shalat, bukan berarti doa juga luput dipanjatkan. Termasuk pula doa harian yang rutin diucapkan seperti doa menjelang tidur, doa pagi hari dan lain sebagainya. Sebagaimana dzikir, do’a juga menjadi ibadah yang boleh dilakukan wanita ketika datang bulan (haid). Dan alangkah lebih baiknya jika dibarengi dengan dzikir pada saat sebelum berdo’a.

3. Membaca Buku Keagamaan


Belajar ilmu syar’i dan membaca buku-buku tentang keagamaan juga menjadi amalan yang dapat dilakukan wanita yang sedang haid. Termasuk buku yang boleh dibaca yakni buku tafsir, fikih, hadits dan lain sebagainya yang di dalamnya terdapat potongan ayat Al Qur’an. beberapa ulama memperbolehkan amalan ini dilakukan wanita meski dalam kondisi haid.


4. Muraja’ah Al Qur’an


Membaca Al Qur’an bagi wanita haid masih diperdebatkan para ulama tentang kebolehannya. Pasalnya, menyentuh mushaf Al Qur’an telah jelas larangannya dalam Al Quran dan hadits. , Al Qur’an  menjelaskan dalam surat Al Waqi’ah ayat 79 berikut: “Tidak ada yang menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang suci.”. Selain itu Rasulullah saw menjelaskan bahwa tidak boleh seseorang menyentuh mushaf kecuali dalam keadaan suci, “Tidaklah menyentuh mushaf kecuali orang yang suci.” (HR. An Nasa’i).

Beberapa ulama berpendapat, wanita haid diperbolehkan membaca Al Qur’an namun tanpa memegang mushaf. Hal ini bisa dilakukan ketika muraja’ah hafalan Al Qur’an. Sebagaimana ucapan Ibnu Taimiyyah, “Empat imam berpendapat bahwasanya tidak menyentuh mushaf kecuali orang yang suci. Sedangkan wanita haid yang membaca Al Qur’an tanpa menyentuh mushaf masih terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama dan mengkaji ilmu. Sesungguhnya wanita haid tidak membaca Al Qur’an kecuali ada kepentingan seperti bila ia takut melupakannya. Wallahu a’lam.”

Pendapat lain membolehkan wanita yang sedang haid untuk membaca Al Qur’an namun tanpa memegang mushaf atau dengan cara melapisi antara tangan dan mushafnya. Pendapat ini berdasarkan tidak adanya hadits Rasulullah yang melarang wanita haid untuk membaca Al Qur’an.

5. Menunaikan Ibadah Haji


Jika haid tiba di tengah pelaksanaan ibadah haji, maka tidak ada larangan untuk melakukan segala kegiatan atau manasik haji, kecuali satu hal, yakni tawaf di Baitullah. Hal ini berdasarkan hadits dari Ummul Mukminin ‘Aisyah, beliau radiyallahu ‘anha pernah berkata, “Kami pergi (meninggalkan Madinah), tidak ada persangkaan kami kecuali untuk melaksanakan ibadah haji. Maka tatkala kami berada di Sarif, aku haid.”

Rasulullah datang menemuiku, ketika itu aku sedang menangis. Rasulullah bersabda, “Mengapa engkau menangis, apakah engkau haid?” “Ya,” jawabku.

Selain ibadah yang disebutkan di atas, tentu ada ibadah umum lain yang bisa dilakukan wanita yang sedang haid. Bersedekah, berdakwah, hingga belajar pun dapat menjadi sebuah ibadah. Hal tersebut juga berlaku bagi wanita yang mengalami nifas setelah melahirkan.Satu hal yang perlu diperhatikan yaitu ketika wanita ditimpa haid yakni bahwasanya meninggalkan ibadah yang biasa dilakukan juga merupakan ibadah tersendiri.

Maksudnya, meninggalkan shalat dan puasa saat haid tentu karena adanya larangan Allah tentangnya. Sementara menghindari larangan Allah adalah ibadah yang juga berbuah pahala. Karena itu, niatkanlah meninggalkan ibadah akibat haid karena menaati aturan Allah. Dengannya, meninggalkan ibadah pun inysaallah tidak menutup kemungkinan akan dapat ganjaran berupa pahala.

Wallahu a’lam bish-shawabi.   

Sahabat noerislam itulah ulasan mengenai Ibadah saat Haid yang dapat Dikerjakan Kaum Hawa. Terima kasih telah berkunjung ke website cahaya islam, semoga apa yang sahabat baca dapat membawa manfaat dan kemaslahatan untuk kita semua, Aamiin ya rabbal aalamiin.


Friday, 20 December 2019

Sejarah Singkat Pembukuan Al-Qur’an di masa Utsman bin Affan


Tetaplah dengan demikian keadaan Al-Qur’an itu, yang berarti telah dituliskan dalam suatu naskah yang lengkap. Di atas lembaran- lembaran yang serupa, ayat- ayat dalam suatu surat tersusun dengan tertib sesuai yang telah ditunjukan oleh Nabi Muhammad saw. Lembaran- lembaran tersebut digulung dan didikat dengan suatu benang.

Pada masa ke- khalifahan Utsman bin Affan, pemerintahan mereka telah sampai ke wilayah Armenia dan Azerbaiyan di sebelah timur, dan Tripoli di sebelah barat. Dengan demikian kaum muslimin pada masa ke- khalifahan Utsman telah meluas ke beberapa wilayah, yaitu di Mesir, Syria, Irak, Persia, Afrika.

Pada saat itu ke mana mereka pergi dan dimana mereka tinggal Al-Qur’an itu tetap menjadi imam atau pedoman hidup mereka, diantara mereka banyak yang menghafal Al-Qur’an itu. Mereka pula banyak yang membawa naskah- naskah dari Al-Qur’an itu, tetapi naskah- naskah Al-Qur’an yang mereka bawa itu tidak sama susunan dari surat- suratnya.

Begitu juga ada yang didapat diantara mereka perselisihan tentang bacaan Al-Qur’an itu. Hal ini bermula karena pada awalnya Nabi Muhammad saw sendiri memberi keleluasaan kepada kabilah- kabilah arab yang berada di masanya, untuk membaca dan melafazkan Al-Qur’an itu menurut Lahjah (dialek) mereka masing- masing.

Keleluasaan tersebut di berikan oleh Nabi saw agar lebih mudah oleh mereka ketika membaca sampai menghafal Al-Qur’an. Kemudian jika di lihat dari tanda- tanda tersebut, ketika perselisihan tentang bacaan Al-Qur’an ini terus dibiarkan begitu saja akan mendatangkan perpecahan yang tidak diinginkan dalam kalangan kaum muslimin.

Huzaifah bin Yaman adalah orang yang pertama mengahadapkan perhatian kepada permasalahan ini.  Beliau merupakan seorang sahabat yang ikut dalam pertempuran dalam menaklukan Armenia dan Azerbaiyan, dan selama dalam perjalanan itu dia pernah mendengar pertikaian kaum muslimin tentang bacaan beberapa ayat Al-Qur’an.

Disamping hal itu ia pernah mendengar perkataan seorang muslim kepada temannya, “bacaan saya lebih baik dari bacaanmu”. Kejadian tersebut tentu saja mengagetkan Huzaifah bin Yaman, maka di waktu ia kembali ke madinah segera ia menemui khalifah Utsman bin Affan. Kemudian diceritakan kepadanya apa yang telah ia lihat dari pertikaian kaum muslimin mengenai bacaan Al-Qur’an. Dari peristiwa inilah awal mula pengumpulan Al-Qur’an pada masa Utsman bin Affan di mulai.

Kemudian Utsman berkata, “Susul-lah umat islam itu sebelum mereka berselisih tentang Al-Qur’an sebagaimana perselisihan yang terjadi antara kaum yahudi dan nasrani.” Maka oleh kahalifah Utsman bin Affan menugaskan kepada Hafsah binti Umar agar lembaran- lembaran Al-Qur’an yang di tulis pada masa khalifah Abu Bakar dahulu, yang disimpan oleh Hafsah untuk disalin ulang.

Kemudian oleh Utsman bin Affan dibentuk satu panitia, yang terdiri dari Zaid bin Tsabit sebagai ketua, yeng anggotanya Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘Ash dan Abdur Rahman bin Haris bin Hisyam.

Tugas panitia ini adalah untuk membukukan Al-Qur’an, yaitu dengan cara menyalinnya dari lembaran- lembaran Al-Qur’an yang di tulis pada masa khalifah Abu Bakar dahulu menjadi buku. Dalam pelaksanaan tugas ini Utsman menasehati agar:

1. Mengambil pedoman pada bacaan yang mereka hafal dari Al-Qur’an.


2. Jika ada pertikaian antara mereka tentang bahasa (bacaan) Al-Qur’an, maka haruslah ditulis menurut dialek suku Quraisy, sebab Al-Qur’an itu diturunkan menurut dialek Quraisy.



Maka dikerjakan oleh panitia yang sudah dibentuk sebagaimana yang telah ditugaskan kepada mereka dan setelah tugas itu selesai, maka lembaran- lembaran Al-Qur’an yang dipinjam dari Hafsah itu dikembalikan kepadanya.

baca juga: Pemeliharaan Al-Qur'an Dimasa Abu Bakar

Al-Qur’an yang telah dibukukan itu dinamai dengan nama “Al-Mushaf ”, dan oleh panitia tersebut telah dibuat menjadi lima buah Al-Mushaf. Yang empat diantaranya itu dikirim ke beberapa wilayah seperti Mekah, Syria, Basrah, dan Kufah. Di tempat itu pula di tugaskan agar dapat menyalin dari masing- masing mushaf itu. Dan Al-Mushaf yang satu buah di tinggal di Madinah untuk Utsman sendiri, dan itulah Al-Qur’an yang dinamai dengan “Mushaf Al Imam”.

Maka sesudah itu Utsman memerintahkan untuk mengumpulkan semua lembaran- lembaran yang bertuliskan ayat Al-Qur’an yang dulu di tulis sebelum itu untuk menghilangkannya dengan cara membakarnya. Maka dari Mushaf yang ditulis pada masa khalifah Utsman bin Affan itu kaum muslimin di seluruh pelosok menyalin bacaan Al-Qur’an itu.

Adapun perlainan bacaan yang sampai sekarang masih ada, karena bacaan- bacaan yang dirawikan dengan mutawatir dari Nabi saw dan terus dipakai oleh kaum muslimin dan bacaan- bacaan tersebut tidaklah berlawanan dengan apa yang tertulis dalam Al-Mushaf yang tertulis di masa Utsman itu.


Dengan demikian, maka hikmah pembukuan Al-Qur’an di masa Utsman itu memiliki faedah sebagai berikut:


1. Menyatukan kaum muslimin dengan dibukukannya Al-Qur’an yang bernama “Al-Mushaf”, yang seragam ejaan tulisannya.


2. Menyatukan bacaan dan adapun yang masih ada yang berlainan bacaan, tetapi bacaan itu tidak berlawan dengan ejaan Mushaf pada masa Utsman.


3. Menyatukan secara tertib susunan surat-surat, menurut tertib terurut sebagai mana dapat dilihat pada Mushaf-mushaf sekarang.



Sahabat noerislam itulah ulasan mengenai kisah dan sejarah singkat Pembukuan Al-Qur’an di masa Utsman bin Affan. Terima kasih telah berkunjung ke website cahaya islam, semoga apa yang sahabat baca dapat membawa manfaat dan kemaslahatan untuk kita semua, Aamiin ya rabbal aalamiin.


Wednesday, 18 December 2019

Buah dari Sifat Amanah Seorang Pemuda



Dahulu, di Damaskus ada sebuah masjid yang megah lagi  besar, nama masjis itu adalah Jami’ At- Taubah. Masjid tersebut merupakan tempat yang penuh dengan keberkahan, di dalamnya terdapat ketenangan dan keindahan. Sejak tujuh puluh tahun tahun lalu semenjak didirikan masjid tersebut selalu ada seorang syeikh pendidik yang alim dan mengamalkan ilmunya.


Suatu masa ada seorang syeikh yang begitu arif dan bijak, dia sangat zuhud sehingga menjadi contoh dalam kefakirannya, dalam menahan diri dari meminta, dalam kemuliaan jiwanya dan dalam berhidmat untuk kepentingan orang lain dan kepentingan bersama.

Saat itu ada seorang pemuda yang tinggal disebuah kamar khusus tamu di masjid. Beliau merupakan pemuda rantu yang tidak mempunyai saudara dan tempat tinggal. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk tinggal di masjid Jami’ At- Taubah ini dan bersedia membantu untuk membersihkan masjid tersebut.

Suatu hari ia merasa lapar karena sudah dua hari berlalu tanpa ia memakan apapun kedalam mulutnya selain hanya air yang tersedia. Dia tidak mempunyai makanan untuk dimakan dan uang untuk membeli makanan. Saat datang hari ketiga ia merasa bahwa ia sudah tidak kuat dan merasa sangat lemah hamper mati, lalu ia berpikir tentang apa yang harus ia lakukan.

Masjid Jami’ At- Taubah merupakan masjid yang atapnya bersambung dengan atap beberapa rumah yang ada disampingnya. Hal ini memungkinkan seseorang untuk berjalan diatas atap dan berpindah dari satu rumah ke rumah yang lain. Maka, dia pun naik ke atap masjid dan dari situ ia dapat berpindah kerumah yang ada disamping masjid itu.

Di dalam rumah itu ia melihat ada seorang wanita, maka ia segera memalingkan pandangannya dan menjauh dari rumah tersebut. Lalu ia melangkah menuju ke rumah sebelahnya, disana ia melihat keadaan rumah yang sepi dan tidak terlihat ada seseorang berada di dalam rumah. Dari dalam rumah ia mencium bau aroma masakan.

Rasa laparnya menggelora dan aroma masakan tersebut menyeret langkah pemuda tersebut untuk  memasuki rumah itu. Dengan gerak cepat ia masuk ke dalam rumah dan menuju ke sebuah ruangan di belakang yaitu dapur, dia melihat ada sebuah panci yang ia rasa aroma masakan tersebut berasal dari apa yang ada di dalam panci itu.

Dengan segera ia membuka tutup panci itu dan ia melihat ada terong yang sudah dimasak. Dia ambil satu potong terong tersebut, karena rasa laparnya sang sudah menggelora ia makan dengan lahap sebuah terong tersebut sehingga tidak bisa ia rasakan panasnya. Saat mengunyah dan sudah menelannya dia baru sadar dan timbul kembali kesadaran agamanya.

Langsung saja ia mengucap A’udzu billah! Aku adalah seorang penuntut ilmu dan tinggal di masji, pantaskah aku masuk ke rumah orang lain dan mencuri barang yang ada di dalamnya? ” dia merasa hal tersebut adalah kesalahan besar, ia menyesal akan hal yang terjadi itu dan segera beristighfar kepada Allah. Kemudian ia kembalikan ke dalam panci terong yang masih tersisa di tangan kananya itu.

Akhirnya ia kembali ke tempat yang seharusnya, berada dalam masjid. Ketika ia masuk ke dalam masjid ia duduk di pojok ruangan dan mendengarkan adanya kajian yang sedang dilakukan oleh beberapa orang. Ketika majelis tersebut telah bubar hanya ada dia dan syeikh yang sedang berdzikir kepada Alllah.

Tiba- tiba datang seorang wanita yang menutup tubuhnya dengan hijab. Kemudian wanita tersebut berbicara dengan syeikh. Sang pemuda tidak dapat mendengar apa yang sedang dibicarakan. Tiba- tiba syeikh itu melihat ke sekeliling masjid. Tak tampak olehnya, kecuali pemuda itu. Lalu dipanggil pemuda tersebut.

Syeikh bertanya kepadanya “apakah kamu sudah menikah? ”

“belum” jawab pemuda itu.

Syeikh bertanya kembali “apakah kau ingin menikah? ”

Pemuda itu terdiam, melihatnya syeikh bertanya kembali dengan pertanyaan yang sama. Akhirnya pemuda itu berbicara “ ya syeikh demi Allah, tetapi saya saja tidak memiliki uang untuk membeli makan bagaimana saya akan menikah? ”

“wanita ini membawa kabar, bahwa suaminya telah meninggal dan dia adalah seorang yang asing di kota ini. Disini dan di dunia ini ia tidak memiliki saudara kecuali seorang paman yang sudah tua dan miskin” kata syeikh tersebut sambil menunjuk seorang seorang pria yang sudah tua.

Syekh lalu berbicara kembali “ dan wanita ini telah mewariskan rumah dan semua dari hasil penghidupan suaminya dulu. Sekarang ia ingin seseorang laki-laki untuk bersedia menjadi suaminya, agar dia tidak sendirian lagi dan mungkin akan diganggu orang lain. Maka, aukah kau menikah dengannya? ” 

Pemuda itu pun menjawabnya “iya”

Kemudian syeikh bertanya kepada wanita itu “apakah kau mau menerimanya sebagai suamimu? ”

Ia menjawabnya “iya”.


Maka syeikh itu mendatangkan pamannya dan dua orang saksi.lalu syekh melangsungkan akad nikah keduanya  dan membayarkan mahar untuk pemuda itu. Syeikh berkata “peganglah tangan istrimu” di peganglah tangan istrinya dan sang istri membawa ke rumahnya.

Rupanya pemuda itu sadar bahwa rumah tersebut adalah rumah yang telah ia masuki. Sang istri bertanya “kau ingin makan?” . “ya” jawabnya.

Lalu dia ke dapur dan membuka tutup panci yang berisikan terong, saat melihat terong di dalamnya ia berkata “heran, siapa yang masuk ke rumah dan mengigit terong ini?”. Maka pemuda itu menangis dan menceritakan semua kisahnya. Kemudian istrinya memberikan komentar: 

“ yang kau lakukan ini adalah salah satu ahlak terpuji amanah dan juga salah satu buah dari sifat amanah di sisi lain engkau juga jaga kehormatanmu sebagai umat islam dan kau tinggalkan terong yang haram itu untuk badanmu. Lalu Allah berikan rumah ini semuanya berikut pemiliknya dalam keadaan halal untukmu”

Sahabat noerislam itulah ulasan mengenai kisah tentang amanah yaitu buah dari sifat amanah. Terima kasih telah berkunjung ke website cahaya islam, semoga apa yang sahabat baca dapat membawa manfaat dan kemaslahatan untuk kita semua, Aamiin ya rabbal aalamiin.


Monday, 16 December 2019

Pemeliharaan Al-Qur'an Dimasa Abu Bakar


Sejarah pemeliharaan Al-Qur’an secara singkat berikut dimasa Abu Bakar ini pada awalnya tidak terpikirkan oleh para sahabat baik dari golongan Muhajirin maupun golongan Anshar. Sesudah rasulullah saw wafat, para sahabat baik dari golongan Muhajirin maupun Anshar sepakat mengangkat Abu Bakar menjadi khalifah.

Pada masa awal pemerintahannya banyak diantara orang- orang islam yang belum begitu kuat imannya. Terutama di Nejed dan Yaman banyak diantara mereka kalangan umat islam yang menjadi murtad dari agama islam, selain itu banyak pula yang enggan dan menolak membayar zakat.

Disamping itu ada pula orang-orang yang mengaku bahwa dirinya sebagai nabi. Hal ini dihadapi oleh Abu Bakar dengan tegas, sehingga ia berkata kepada orang- orang yang menolak membayar zakat itu demikian, “Demi Allah!, jika mereka menolak untuk menyerahkan seekor anak kambing sebagai zakat (seperti apa) yang pernah mereka serahkan kepada rasulullah, maka aku akan memerangi mereka.”

Maka terjadilah peperangan yang hebat untuk menumpas mereka, orang- orang yang murtad dan pengikut-pengikut orang yang mengaku bahwa dirinya itu sebagai nabi. Diantara peperangan- peperangan itu ada yang begitu menarik perhatian yang terkenal yaitu Peperangan Yamamah. Tentara islam pada saat itu yang ikut dalam peperangan ini kebanyakan terdiri dari para sahabat dan para penghafal Al-Qur’an.

Perkembangan Al-Qur'an pada masa sahabat dimulai pada masa kekhalifahan Abu Bakar yang sempat berada keadaan yang cukup genting dimana para penghafal Al-Qur'an telah banyak yang gugur di medan peperangan melawan orang-orang yang murtad dari agama islam.

Dalam peperangan Yamamah ini ada beberapa kaum muslimin yang gugur diantaranya yang cukup banyak yaitu para penghafal Al-Qur’an yakni berkisar 70 orang. Bahkan sebelum adanya peperangan ini tidak sedikit pula orang-orang yang hafal Al-Qur’an yang gugur dimasa nabi pada suatu pertempuran di sumur Ma’unah yang dekat dekat dengan kota Madinah.

Oleh karena itu Umar bin Khattab khawatir akan gugurnya para sahabat penghafal Al-Qur’an yang masih hidup. Lalu Umar datang menemui Abu Bakar untuk memusyawarahkan mengenai hal ini. Dalam buku-buku tafsir dan hadis mengenai percakapan yang terjadi antara Umar Khattab, Abu Bakar dan Zaid bin Tsabit mengenai pengumpulan Al-Qur’an di terangkan sebagai berikut,:

Umar bin Khattab berbicara kepada Abu Bakar: “ yang terjadi dalam peperangan Yamamah, telah banyak yang gugur diantara para sahabat yang hafal Al-Qur’an. Saya khawatir akan gugurnya para sahabat yang lain dalam peperangan selanjutnya, sehingga banyak ayat-ayat Al-Qur’an itu yang perlu dikumpulkan.” Abu Bakar menjawab: “mengapa aku akan melakukan sesuatu yang tidak diperbuat oleh rasulullah.”

Umar kembali berbicara dan menegaskan pernyataannya: “Demi Allah, saya yakin hal ini adalah perbuatan baik dan merupakan amal shaleh”. Dan ia memberikan alasan- alasan lain bahwa pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an ini meruapakan perbuatan yang baik. Sehingga pada akhirnya Allah membukakan hati Abu Bakar untuk menerima pendapat umar mengenai hal tersebut.

Pembukuan Al-Qur’an pada masa abu bakar di mulai pada saat ini. Abu Bakar memanggil Zaid bin Tsabit dan berkata kepadanya: “Umar mengajakku untuk mengumpulkan lembaran-lembaran Al-Qur’an.” Lalu diceritakan apa saja yang ada dalam pembicaraanya yang terjadi antara dia dengan Umar tadi.

Abu Bakar berkata kepada Zaid: “engkau adalah seseorang yang cerdas dan orang yang kupercayai selain itu kau juga adalah seorang penulis ayat Al-Qur’an dari Allah yang selalu disuruh oleh rasulullah saw. Oleh sebab itu maka kumpulkan lembaran-lembaran Al-Qur’an itu.”

Zaid lantas menjawab: “Demi Allah, hal ini merupakan suatu pekerjaan yang berat. Seandainya saja aku diperintahkan untuk memindahkan sebuah bukit, maka pekerjaan itu tidaklah lebih berat bagiku daripada mengumpulkan Al-Qur’an yang engkau perintahkan itu.” Dan berkata selanjutnya kepada Abu Bakar dan Umar: “mengapa aku harus melakukan suatu pekerjaan yang tidak diperbuat bahkan diperintahkan oleh nabi Muhammad saw? ” 

Abu Bakar lantas menjawabnya: “Demi Allah, kami yakin perbuatan ini merupakan perbuatan yang baik dan merupakan amal shaleh”. Lalu  ia memberikan alasan- alasan lain bahwa pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an ini meruapakan perbuatan yang baik. Sehingga pada akhirnya Allah membukakan hati Zaid. Kemudian Zaid mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an dari daun, pelepah kurma, batu, tanah keras, tulang unta atau kambing dan dari sahabat-sahabat yang hafal Al-Qur’an.

 baca juga: Pentingnya Belajar dan Mengajarkan Al-Qur’an

Dalam usaha mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an itu, Zaid bin Tsabit bekerja dengan amat teliti. Sekalipun dia merupakan seorang yang hafal Al-Qur’an seluruhnya. Tetapi untuk kepentingan pengumpulan Al-Qur’an yang begitu penting bagi umat islam itu, ia merasa suatu yang harus benar dan masih memandang bahwa perlunya untuk mencocokan hafalannya atau catatan dari para sahabat yang lain dengan adanya yang menyaksikan oleh dua orang sebagai saksi.

Dengan demikian Al-Qur’an seluruhnya telah ditulis oleh Zaid bin Tsabit dalam lembaran-lembaran  dan diikatnya dengan benang yang tersusun urutannya ayat demi ayat sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw. Kemudian tulisan Al-Qur’an tersebut diserahkan kepada Abu Bakar, dan lembaran tersebut tetap dijaga dan tetap ada di tangan Abu Bakar hingga ia wafat.

Sampai pada akhirnya lembaran Al-Qur’an itu dipindahkan ke rumah Umar bin Khattab dan selalu ada padanya dan juga hingga pemerintahannya. Sesudah beliau wafat lembaran Al-Qur’an pindah ke rumah Hafsah, putri Umar yang merupakan istri rasulullah hingga masa pengumpulan dan penyusunan Al-Qur’an di masa khalifah Utsman bin Affan.

Sahabat noerislam itulah ulasan mengenai kisah pemeliharaan Al-Qur’an di masa Abu Bakar. Terima kasih telah berkunjung ke website cahaya islam, semoga apa yang sahabat baca dapat membawa manfaat dan kemaslahatan untuk kita semua, Aamiin ya rabbal aalamiin.


Saturday, 14 December 2019

Cara Menghitung Zakat Harta(Benda dan Profesi)


Zakat merupakan salah satu dari lima rukun islam, yang memiliki peran sebagai penyempurna ke-islaman seseorang. Zakat mempunyai arti yang luas dan memiliki beberapa arti diantaranya yaitu suci, tumbuh, berkah, dll. Adapun secara terminologis zakat yaitu mengeluarkan sejumlah harta tertentu yang dimiliki oleh seseorang yang diwajibkan oleh Allah SWT untuk di berikan atau diserahkan kepada orang lain yang berhak dan membutuhkan.

Dalam Al-Qur’an pun banyak sekali ayat yang menjelaskan tentang pentingnya berzakat. Diantaranya yaitu surat At-Taubah ayat 58 yang artinya sebagai berikut: “Diantara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) sedekah (zakat);  Jika mereka diberi sebagian daripadanya maka mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi diberi dari sebagain padanya dengan serta merta mereka menjadi marah. ” (QS.At-Taubah: 58)

Setelah itu Allah melanjutkan firmannya pada ayat selanjutnya ayat 60, yang artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang yang fakir, miskin, pengurus-pengurus zakat (amil), para muallaf, yang dibujuk hatinya untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk membebaskan orang-orang yang berhutang, untuk di jalan Allah, dan untuk orang-orang yang berada dalam perjalanan, sebagai suatu kewajibkan dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana.” ( QS.At-Taubah: 60)

Selain itu pada ayat yang lainnya Allah SWT menerangkan kembali di ayat 103, yang artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdo’alah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketentraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui. ” 

Dalam suatu hadis pun suatu ketika nabi Muhammad saw pernah mengatakan, “ Terangkanlah kepada mereka bahwa Allah SWT mewajibkan sedekah, yang dikenakan pada kekayaan orang-orang kaya.”

Ayat Al-Qur’an dan hadis diatas membahas tentang zakat yang dimana ada yang diungkapkan dengan kata sedekah. Yang pada intinya sama yaitu, mengeluarkan sebagian harta kekayaan yang dimiliki orang mampu atau orang kaya untuk diberikan kepada orang yang berhak dan membutuhkan.

Zakat memiliki arti yang cukup luas, namun zakat dapat dikategorikan kedalam dua kelompok, yaitu:

1. Fardhu’ain

yang terdiri dari zakat fitrah (zakat yang diperuntukan atas diri dan jiwa) dan zakat maal (zakat yang berlaku atas harta manusia).

2. Fardhu Kifayah

ialah seperti infak.

Sebelum lebih lanjut kepada cara menghitung zakat harta alangkah lebih baik jika memperhatikan mengenai Dasar hukum zakat, dalam Al-Qur’an terdapat banyak perintah untuk umat islam agar menunaikan zakat diantaranya sebagai berikut:

Dalam surat Al-Hajj ayat terakhir menjelaskan sebagaiberikut,: “Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan dia tidak menjadi kesukaran bagimu dalamagama. (ikutilah) agama nenek moyangmu yaitu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamakan untukmu orang-orang muslim sejak dahulu, dan begitu pula dalam (Al-Qur’an) ini agar rasul (Muhammad) itu menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi saksi atas semua manusia. Maka laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat, dan perpegang teguhlah kepada Allah. Dialah pelindungmu; dia sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.”

Dalam surat lainpun surat Az-Zariyat ayat 19 Allah allah menerangkan secara tersirat yaitu,: “Dan pada harta benda mereka ada hak bagi orang miskin yang meminta, dan orang miskin yang tidakmeminta.”

baca juga: Tips Islam dalam Kisah Membongkar Perselingkuhan

Zakat maal atau yang disebut juga dengan zakat harta ini dapat berupa,:

1. Benda : emas, perak, tabungan

Berikut cara menghitung zakat emas: Jika sudah senilai harga emas 85 gram, maka wajib dikeluarkannya harta tersebut. Misal harga emas 1 gram Rp. 500.000,00 x 85 = Rp. 42.500.000,00. Maka jika ada seseorang mempunyai tabungan sebanyak = Rp. 42.500.000,00. Atau lebih dan sudah disimpan dalamjangka waktu satu tahun maka orang tersebut wajib untuk berzakat.

2. Profesi : pertanian, perkebunan, peternakan, dll. Yang menghasilkan harta benda.

Dalam hal ini ada kententuan yang berasal dari arab yaitu 5 watsaq, jika dalam 720 kg. sebanyak itu merupkan berat kotor, ada yang berpendapat jika dalam keadaan berat bersih yaitu sebanyak 520 kg.

Dalam profesi ada sedikit berbeda dimana jika dalam waktu belum sampai satu tahun dan sudah panen, ketika di hitung jumlahnya lebih dari ketentuan diatas yaitu berat bersih 520 kg maka wajib keluarkan zakat tidak mesti menunggu waktu hingga satu tahun.

Keterangan:

waktu mengeluarkan zakat mal atau zakat harta adalah satu tahun dalam kalender Hijriyah
jika ada pertanyaan mengenai zakat mal berapa persen? Maka jawabannya yaitu sedikitnya 2,5% dari harta tersebut

Contoh dalam kehidupan sehari-hari: ada seorang yang mempunyai perhiasan emas 10 gram dan logam mulia 80 gram. Jika dilihat dari keadaan seperti itu maka belum wajib untuk mengeluarkan zakat. Berikut penjelasannya:

Jumlah total harta yang wajib untuk dikeluarkan hanya 80 gram saja,  karena yang 10 gram emas yang perhiasan itu merupakan harta yang tidak dihitung, sebab hanya digunakan sebagai perhiasan atau hanya untuk keindahan semata.

Namun berbeda kejadiannya jika yang 10 gram emas tersebut digunakan bukan hanya sekedar perhiasan semata melainkan untuk bisnis atau berniaga, maka akan berjumlah 90 gram harta yang wajib. Dan jumlah tersebut lebih dari 85 gram, maka wajib untuk dikeluarkan zakat.

Dan itu juga harus sudah berjangka waktu satu tahun maka wajib di keluarkan zakatnya. Dikeluarkan untuk berzakat sebesar minimal 2,5 % dari jumlah harta tersebut.

Sahabat noerislam itulah ulasan mengenai cara menghitung zakat maal. Terima kasih telah berkunjung ke website cahaya islam, semoga apa yang sahabat baca dapat membawa manfaat dan kemaslahatan untuk kita semua, Aamiin ya rabbal aalamiin.


Friday, 13 December 2019

Pentingnya Belajar dan Mengajarkan Al-Qur’an



Bagi setiap orang islam yang beriman kepada Allah SWT yang mempercayai Al-Qur’an mempunyai sebuah kewajiban dan tanggung jawab terhadap kitab sucinya itu. Di antara kewajiban dan tanggung jawab bagi setiap mu’min terhadap Al-Qur’an yaitu mempelajarinya dan mengajarkannya. Belajar dan mengajarkan Al-Qur’an merupakan suatu kewajiban yang suci lagi mulia.


Dalam hadis Rasulullah saw telah menyampaikan: “ Sesungguhnya sebaik-baik orang diantara kamu ialah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan yang mengajarkannya. ” dalam hadis lain rasulullah saw telah mengatakan: “ Sesungguhnya seseorang yang berpagi-pagi pergi untuk mempelajari ayat-ayat dalam kitabullah (Al-Qur’an) yang demikian itu lebih baik dari pada mengerjakan sembahyang sunat seratus rakaat. ”

Dari hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Rasulullah juga pernah mengatakan: “ Barangsiapa yang mempelajari kitabullah (Al-Qur’an), kemudian diamalkannya apa-apa isiyang terkandung di dalamnya, Allah SWT akan menunjukinya dari kesesatan dan akan dipeliharanya orang tersebut pada hari kiamat kelak dari siskaan yang berat. ”

Maka dari itu mempelajari Al-Qur’an itu sangat penting, yang merupakan kewajiban yang utama bagi setiap mu’min, begitu juga mengajarkannya kitabullah (Al-Qur’an). Mempelajari Al-Qur’an itu dapat dibagi kedalam beberapa tingkatan, yaitu:

1. Belajar membacanya hingga lancar dan baik

Menuruti kaidah- kaidah yang berlaku dalam qiraat dan tajwid

2. Belajar arti dan maksudnya

Belajar Al-Qur’an hingga dapat mengerti akan maksud- maksud yang terkandung di dalamnya.

3.  Belajar menghafalnya diluar kepala

Sebagaimana yang telah dikerjakan oleh para sahabat pada masaa rasulullah saw, demikian pula pada massa sekarang di beberapa negeri terutama di bagian timur tengah yang mayoritas beragama islam.

Belajar Al-Qur’an itu hendaknya dari semenjak kecil, sebaiknya dari semenjak berumur 5 tahun, sebab pada umur 7 tahun juga sudah harus untuk mengerjakan sembahyang (shalat). Rasulullah saw telah memerintahkan demikian : “ Suruhlah anak-anakmu untuk mengerjakan shalat, jika sudah berumur 7 tahun. Dan pukul-lah (marahi-lah) jika dia tidak mengerjakan shalat  kalau sudah berumur 10 tahun.”

Menjadikan anak- anak dapat belajar Al-Qur’an mulai dari semenjak kecil itu, merupakan kewajiban orang tuanya masing- masing. Berdosalah orang tua yang tidak memiliki rasa malu yang paling besar dihadapan Allah SWT nantinya, bilamana anak-anaknya tidak bisa membaca Al-Qur’an.

Sebaliknya, tidak ada suatu kegembiraan yang lebih memuncak nantinya, bilamana orang tua dapat menjadikan anaknya sebagai anak yang pandai membaca Al-Qur’an. Sebagaimana rasulullah saw telah mengatakan, “ Tidak ada suatu keuntungan bagi seseorang yang telah menjadikan anaknya pandai membaca Al-Qur’an, kecuali baginya nanti pada hari kiamat akan diberikan suatu mahkota dari dalam syurga.”

Pada tingkat pertama ini, yaitu Belajar membaca Al-Qur’an hingga lancar dan baik, hendaknya sudah merata dilaksanakan sehingga tidak akan ada orang yang buta huruf Al-Qur’an dikalangan umat islam. Hal tersebut seharusnya dapat diterapkan mulai dari tiap-tiap rumah tangga yang dimana ada seorang imam atau suami atau ayah yang berkewajiban mengajari tentang Al-Qur’an.

Batas untuk seseorang mempelajari Al-Qur’an itu hanya bila orang tersebut sudah diantar ke liang kubur. Jadi tidak ada alasan bagi siapapun untuk tidak mempelajari Al-Qur’an. Hal ini berlaku untuk setiap muslim baik itu anak-anak, orang dewasa, orang tua, baik laki-laki maupun perempuan.

Sesudah hal tersebut barulah menginjak ke tingkat kedua, yaitu mempelajari arti dan maksud yang terkandung di dalam Al-Qur’an. Dengan demikian Al-Qur’an itu dapat betul-betul menjadi pelajaran, peraturan, dan petunjuk bagi setiap muslim dalam mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat yang diridhai Allah SWT.

Hingga tingkat ketiga yang dapat dikatakan tahap special dimana tingkat ini banyak dilakukan oleh para sahabat pada jaman dahulu untuk menghafal Al-Qur’an. Dengan mengahafal ayat Al-Qur’an akan memudahkan seseorang untuk dapat mengamalkan apa yang ada dalam Al-Qur’an. Oleh sebab itu tingkat ini begitu special.


Selain mempelajari Al-Qur’an bagaimana tata cara membaca serta mendalami apa arti dan maksud yang terkandung didalamnya, yang terpenting adalah mengajarkannya. Jadi belajar dan mengajar merupakan dua tugas yang mulia lagi suci, yang tidak dapat di pisah-pisahkan. Sedapat mungkin hasil dari belajar tersebut terus diajarkan pula, demikian pula seterusnya.

Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw ketika mendapat wahyu dari malaikat jibril untuk mempelajari Al-Qur’an, dan pada waktu itu pula nabi Muhammad saw terus mengajarkan kepada para sahabat. Para sahabat pun melakukan hal demikian yaitu belajar dan mengajarkannya. Seterusnya orang yang mendapatkan pelajaran dari para sahabat, melanjutkannya kepada orang lain. Demikianlah secara sambung menyambung seperti rantai yang tidak putus- putusnya.

Jadi, pekerjaan mengajarkan Al-Qur’an merupakan tugas yang sangat mulia di sisi Allah SWT. Di dalam tugas mengajarkan Al-Qur’an itu terkandung tiga kemuliaan yaitu:

1.      Kemuliaan mengajar yang merupakan warisan tugas nabi Muhammad saw.

2.      Kemuliaan membaca Al-Qur’an sembari mengajarkannya.

3.    Kemuliaan memperdalam arti dan maksud yang terkandung didalam Al-Qur’an.


Dengan mengajar secara terus menerus, ia akan menjadi orang yang mahir memahami Al-Qur’an. Dari hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang berasal dari siti Aisyah ra Rasulullah saw bersabda yang artinya: “ orang yang membaca Al-Qur’an, lagi ia mahir dalam memahaminya, niscaya dihari kemudian akan mendapat tempat di dalam syurga yang di dalamnya bersama rasul-rasul yang mulia lagi baik; dan juga orang yang membaca Al-Qur’an tetapi tidak atau belum mahir, membacanya masih tertegun- tegun dan tampak agak berat lidahnya (belum lancar), ia akan mendapatkan dua pahala.”

Sahabat noerislam itulah ulasan mengenai pentingnya belajar dan mengajarkan Al-Qur’an. Terima kasih telah berkunjung ke website cahaya islam, semoga apa yang sahabat baca dapat membawa manfaat dan kemaslahatan untuk kita semua, Aamiin ya rabbal aalamiin.