Dalam kamus Al-Munjid dan Al-Munawwir disebutkan beberapa lafadz yang memiliki makna pemahaman, yaitu lafadz fiqh, ia berasal dari lafadz faqiha – yafqahu, fiqhan, yang artinya memahami, mengerti, interpretasi, dan menafsirkan. Dalam Q.S At-Taubah ayat 122, Allah Swt menggunakan lafadz Liyatafaqqahu, yang memiliki tujuan atau arti agar manusia memahamkan, memberi pemahaman.
Dari kalimat tersebut memiliki makna dan mengandung arti mengajarkan, supaya orang lain memiliki ilmu pengetahuan. Pengertian ini juga dikutip dari sabda Nabi saw: “man yuridillahu bihi khairan yufaqqihu fiddin”. Yang bermaksud bahwa orang yang dikehendaki dan direncanakan Allah Swt baik, sukses dan berhasil, adalah orang yang senantiasa mempelajari ilmu.
Dengan kata lain, pendalaman ilmu (tafaqquh fiddin), sampai paham betul dan kemudian ilmu itu diamalkan dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt, itulah orang diinginkan Allah Swt menjadi orang yang baik. Sedangkan ilmu fiqh yaitu ilmu yang mempelajari tentang hukum-hukum syara’ (Islam), baik yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, maupun tentang harmonisasi antara manusia dengan Tuhanya (Allah Swt).
Sementara itu fiqh muamalah adalah syariat (ajaran) Islam yang mengatur tata cara menjalin hubungan dan kolaborasi antara manusia dengan manusia lainnya guna memenuhi kebutuhan lahiriyah yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip Al-Islam.
Hukum asal mumalah ini adalah boleh (ibahah), hal ini mengandung pengertian bahwa suatu transaksi atau akad, bukanlah kewajiban ataupun yang diharamkan, namun merupakan sesuatu yang dibolehkan untuk dijalankan selagi tidak ada dalil yang mewajibkan atau mengaharamkan akad tersebut.
Akad adalah perjanjian tertulis yang mengandung ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan) antara para pihak yang berisi hak dan kewajiban dan dipenuhi berdasarkan prinsip syariah. Akad yang dinyatakan shahih adalah akad yang telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Adapun akad yang sempurna untuk dilaksanakan, yaitu akad yang memenuhi rukun dan syarat serta tidak ada penghalang untuk menjalankannya.
Berdasarkan tujuannya, akad terbagi dua, akad tabarru dan akad tijarah. Akad tabarru adalah semua bentuk akad yang bertujuan untuk kebajikan dan tolong menolong, bukan untuk komersil/bisnis, seperti infaq, shadaqah, wakaf, hibah, hadiah, dan lain sebagainya. Sedangkan akad tijari yaitu akad perdagangan, bertujuan untuk menukar barang dagangan dengan mata uang, harta dengan harta, melalui cara-cara yang ditentukan syara.
Dengan kata lain, akad tijarah adalah seluruh bentuk akad yang bertujuan untuk komersial dan memperoleh keuntungan. Termasuk ke dalam akad tijarah adalah
pertama, akad yang mengacu pada konsep bagi hasil seperti mudharabah, musyarakah.
Kedua, akad yang mengacu kepada konsep jual beli, seperti bai’ salam, istisna’, bi’tsaman ‘ajil, murabahah.
Ketiga, akad yang mengacu pada konsep sewa, seperti ijarah, ijarah muntahiyah bi tamlik,
Keempat, akad yang mengcu pada konsep titipan, seperti wadi’ah, baik yad dhamanah maupun yad al-amanah.
Setiap akad yang dilakukan tentu harus senantiasa selaras dengan al-Qur’an, sebab muara dari seluruh aktivitas ekonomi adalah ridha Allah Swt. Ibn Taimiyah memberikan patokan dasar dalam melangsungkan sebuah akad atau bermuamalah, agara muamalahnya tidak keluar dari prinsip syariah, yaitu sebagai berikut:
1. Fiqh muamalah merupakan mubah
Prinsip ini mengandung pengertian bahwa seluruh jenis transaksi dan akad hukumnya boleh dan dapat dilakukan. Paradigma mengenai ibahah ini merupakan watak fiqh muamalah yang bersifat substantif dan esensial (al-aslhu fi al-muamalah al-ibahah hatta yadulla dalilun ‘la tahrimiha).
2. Parameter fiqh muamalah adalah esensi bukan tekstual
Pemahaman yang diperoleh dari sumber hukum Islam (al-Qur’an dan Hadits) tentang muamalah adalah pemahaman kontekstual. Teks harus dipahami berdasarkan pendekatan esensial dan buka tektual atau leksikal. Makna instrinsik dari nash itulah yang merupakan saripati syara yang harus diambil dan dijadikan ketetapan hukum. Seolah-oleh pernyataan ini adalah pernyataan hibah, namun jika dipahami secara substantif, maknanya bukan hibah, namun jual beli (bai’ wasyira).
3. Tidak boleh dengan cara bathil (QS al-baqarah ayat 29, 30).
Indikasi kebathilan yang juga disebut dalam nash adalah dzulumat, maisyir, ribawi, gharar, dan haram. Dzulumat adalah kedzaliman atau penganiayaan. Menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, memfungsikan sesuatu tidak sesuai dengan seharusnya, memberikan atau mengambil sesuatu yang bukan haknya, melakukan rekayasa sehingga memadharatkan pihak lain semua itu termasuk tidakan dzalim yang dilarang din al-Islam.
Maisyir adalah aksi perjudian yang berbasis spekulasi dengan kepastian yang gambling, tidak jelas, tidak terukur. Ribawi adalah praktek transaksi atau akad yang mensyaratkan atau mengharuskan adanya tambahan pada saat transaksi. Hal ini memungkinkan menimbulkan tekanan dan kerugian salah satu pihak.
Gharar adalah keadaan transaksi yang tidak pasti, tidak jelas serta mengandung unsur spekulasi yang tinggi. Kemudian haram, yaitu segala hal yang secara jelas dan pasti, nash (mashadir al-ahkam) mengharamkan atau melarang mengambil, melakukan, mengerjakan, memberikan, dan memakannya.
4. Jangan mendzalimi orang lain dan diri sendiri (la dharara wala dhirara).
Tindakan yang menimbulkan kerugian, kemadharatan (fahsya, munkar, baghy) dan bahaya baik bagi orang lain maupun diri sendiri adalah tindakan yang salah dan keliru (lihat QS An-Nahl ayat 90). Oleh karena itu Islam melarangnya. Lembaga Keuangan Syariah misalnya, dalam menetapkan laba/keuntungan haruslah memperhatikan nasabah, dan sekaligus lembaganya sendiri.
Terlalu tinggi laba yang diperoleh lembaga tentu saja akan merugikan nasabah, demikian juga juga jika terlalu rendah atau sama sekali tidak ada labanya, lembaga yang rugi, meskipun LKS itu lembaga yang tidak berorientasi kepada laba dan keuntungan semata, namun sudah barang tentu yang namanya lembaga keuangan yang bergerak di bidang ekonomi, harus mendapatkan laba, hanya laba didapat dengan cara yang halal.
5. Bersifat Meringankan dan memudahkan, tidak mempersulit dan memberatkan (al-masyaqatu tajlib al-taisir, yassiry waa tu’assyiru bassyiru wala tunaffiru).
Sebagai alternatif untuk memberikan kegembiraan dan kesenangan kepada orang lain dan atau kepada orang yang bekerjasama, upaya memberikan kemudahan, keringanan, dan menggembirakan adalah perbuatan yang senapas dengan prinsip dan nilai Islam. Karena itu prinsip ini perlu diperhatikan dan dikembangkan dalam bermuamalah, agar kemudahan dan keringanan menjadi jembatan keberhasilan bersama.
6. Tolong menolong / meringankan beban orang lain (Ta’awuniyah)
Lembaga keuangan syariah yang bergerak di sektor keuangan dan ekonomi, tentu harus memperoleh laba/untung (profit) dan pendapatan (revenue), tetapi itu bukan satu satunya tujuan, bukan pula dasar kinerja ekonomi syariah, namun aktivitas ekonomi itu semata-mata berada dalam koridor ta’awuniyah (tolong menolong). Target dasarnya adalah bagaimana kepedulian sosial dapat terbangun dengan baik untuk sejahtera bersama.
Wallahu a’lam bish-shawabi.
Sahabat noerislam itulah ulasan mengenai 6 Kaidah Fiqih Muamalah. Terima kasih telah berkunjung ke website cahaya islam, semoga apa yang sahabat baca dapat membawa manfaat dan kemaslahatan untuk kita semua, Aamiin ya rabbal aalamiin.